Berikut penjelasan Ibnu 'Utsaimin rahimahullah di dalam syarah
Riyadhush Shalihin
Muallif (Imam Nawawi) rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya
Riyadhush Shalihin ketika menjelaskan perihal pujian manusia, apakah
diperbolehkan seseorang memuji orang lain atas sesuatu yang memang ada
pada diri orang itu, ataukah tidak boleh?
Maka permasalahan ini tergantung pada beberapa keadaan :
1. Pertama, apabila di dalam pujian tersebut terkandung kebaikan dan
adanya dorongan untuk memiliki sifat yang terpuji dan berakhlaq mulia,
maka hal ini tidak mengapa dikarenakan adanya dorongan tersebut.
Apabila Anda melihat seseorang yang mulia, pemberani, mengutamakan
orang lain dan suka berbuat baik kepada orang lain, kemudian Anda
menyebutkan kebaikan-kebaikan tersebut di depannya dalam rangka untuk
memberikan dorongan dan dukungan sehingga orang tersebut akan
senantiasa menjaga sifat-sifat itu tetap ada pada dirinya, maka hal
ini adalah sebuah kebaikan, dan sesuai dengan firman Allah Ta'ala :
وتعاونوا على البر والتقوى
(artinya) dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa...
2. Keadaan kedua, Anda memuji seseorang dalam rangka menjelaskan
kedudukannya yang utama di antara manusia, menyebarkannya supaya
manusia menghormatinya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi
Shallallohu 'alaihi wasallam terhadap Abu Bakar dan 'Umar -semoga
Allah meridhai keduanya-.
Adapun mengenai Abu Bakar, suatu hari Rasulullah Shallallohu 'alaihi
wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, "Siapakah di antara kalian
yang pada hari ini berpuasa?" Abu Bakar berkata, "saya!" Beliau
bertanya kembali, "Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah
mengiringi jenazah?" Abu Bakar berkata, "Saya!" Beliau bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah menengok orang
sakit?" Lagi-lagi Abu Bakar menjawab, "Saya!"
Maka Nabi Shallalohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah
perkara-perkara yang (aku sebutkan-pent) tadi terkumpul pada seseorang
melainkan ia akan masuk surga".
Demikian pula saat beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda
mengenai orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah
tidak akan melihatnya (pada hari kiamat-pent) . Abu Bakar berkata,
"Wahai Rasulullah (Shallallohu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya
sebelah sarungku melorot kecuali apabila saya menjaganya." Beliau
shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Kamu bukanlah
orang yang melakukannya karena sombong."
Begitu pula beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Umar
"Sesungguhnya tidaklah kamu melalui sebuah jalan melainkan syaitan
akan melalui jalan yang lain." Yakni apabila kamu ('Umar) melalui
sebuah jalan maka syaitan akan menyingkir dan pergi melalui jalan yang
lain.
Perkataan Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam di atas adalah untuk
menjelaskan keutamaan Abu Bakar dan 'Umar radhiyallohu 'anhuma. Maka
yang demikian ini tidak mengapa.
3. Keadaan ketiga, seseorang memuji orang lain secara berlebihan
sehingga mensifati dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaannya.
Hal ini terlarang dan merupakan satu bentuk kedustaan dan penipuan.
Misalnya seseorang memuji kepada seorang pemimpin atau pejabat atau
yang semisal dengan mereka, di mana sebenarnya mereka tidak pantas
mendapatkan pujian itu karena memang tidak memiliki sifat-sifat yang
terpuji. Maka ini hukumnya haram dan juga terdapat bahaya bagi orang
yang dipuji.
4. Keadaan keempat, pujian kepada seseorang yang sesuai dengan
keadaannya, akan tetapi dikhawatirkan orang yang dipuji itu akan
tertipu oleh dirinya sendiri, merasa dirinya memiliki keutamaan dan
ketinggian dibanding orang lain. Hal ini hukumnya juga haram.
Muallif (Imam Nawawi rahimahullah) menyebutkan beberapa hadits
berkaitan dengan permasalahan ini, bahwasannya ada seorang lelaki
memuji orang lain di sisi Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam, maka
beliau bersabda, "Celaka kamu, engkau telah memotong leher saudaramu!"
yakni seakan-akan engkau telah menyembelih saudaramu dikarenakan
pujianmu kepadanya, karena itu akan membuatnya merasa tinggi dan lebih
daripada orang lain. Dan sungguh Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa
sallam telah memerintahkan supaya menaburkan debu kepada orang yang
terlalu banyak memuji, yaitu orang yang dikenal selalu memuji-muji
orang-orang yang memiliki kedudukan dan kemuliaan di mana pun mereka
hadir. Dan al maddah (orang yang terlalu banyak memuji) tidak sama
dengan al madih (orang yang memuji). Al madih adalah orang yang memuji
sesekali saja. Sedangkan al maddah (ini yang disebut oleh Nabi
Shallallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Miqdad radhiyallohu
'anhu-pent), tidaklah dia duduk di depan seorang pembesar atau
pemimpin atau seorang hakim atau seorang 'alim atau yang semisal
mereka melainkan dia akan memujinya. Orang seperti inilah yang layak
ditaburkan debu ke mukanya.
Karena ada seseorang yang memuji 'Utsman radhiyallohu 'anhu maka
Miqdad berjongkok dan menaburkan ke mukanya. Kemudian 'Utsman bertanya
mengapa dia melakukan hal tersebut. Miqdad berkata, sesungguhnya Nabi
Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian melihat
orang-orang yang suka memuji, maka taburkanlah debu ke muka mereka!"
Bagaimanapun, seyogyanya bagi setiap orang untuk tidak berbicara
kecuali yang baik. Karena Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik
atau diam." Dan Alloh lah yang Maha memberikan petunjuk.
Selesai perkataan Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
Saya tambahkan penjelasan dari Ustadz Badrussalam, apabila kita hendak
memuji seseorang, jangan puji di depannya, tetapi pujilah ketika dia
tidak berada di tempat tersebut.
Allohu a'lam
Riyadhush Shalihin
Muallif (Imam Nawawi) rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya
Riyadhush Shalihin ketika menjelaskan perihal pujian manusia, apakah
diperbolehkan seseorang memuji orang lain atas sesuatu yang memang ada
pada diri orang itu, ataukah tidak boleh?
Maka permasalahan ini tergantung pada beberapa keadaan :
1. Pertama, apabila di dalam pujian tersebut terkandung kebaikan dan
adanya dorongan untuk memiliki sifat yang terpuji dan berakhlaq mulia,
maka hal ini tidak mengapa dikarenakan adanya dorongan tersebut.
Apabila Anda melihat seseorang yang mulia, pemberani, mengutamakan
orang lain dan suka berbuat baik kepada orang lain, kemudian Anda
menyebutkan kebaikan-kebaikan tersebut di depannya dalam rangka untuk
memberikan dorongan dan dukungan sehingga orang tersebut akan
senantiasa menjaga sifat-sifat itu tetap ada pada dirinya, maka hal
ini adalah sebuah kebaikan, dan sesuai dengan firman Allah Ta'ala :
وتعاونوا على البر والتقوى
(artinya) dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa...
2. Keadaan kedua, Anda memuji seseorang dalam rangka menjelaskan
kedudukannya yang utama di antara manusia, menyebarkannya supaya
manusia menghormatinya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi
Shallallohu 'alaihi wasallam terhadap Abu Bakar dan 'Umar -semoga
Allah meridhai keduanya-.
Adapun mengenai Abu Bakar, suatu hari Rasulullah Shallallohu 'alaihi
wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, "Siapakah di antara kalian
yang pada hari ini berpuasa?" Abu Bakar berkata, "saya!" Beliau
bertanya kembali, "Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah
mengiringi jenazah?" Abu Bakar berkata, "Saya!" Beliau bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah menengok orang
sakit?" Lagi-lagi Abu Bakar menjawab, "Saya!"
Maka Nabi Shallalohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah
perkara-perkara yang (aku sebutkan-pent) tadi terkumpul pada seseorang
melainkan ia akan masuk surga".
Demikian pula saat beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda
mengenai orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah
tidak akan melihatnya (pada hari kiamat-pent) . Abu Bakar berkata,
"Wahai Rasulullah (Shallallohu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya
sebelah sarungku melorot kecuali apabila saya menjaganya." Beliau
shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Kamu bukanlah
orang yang melakukannya karena sombong."
Begitu pula beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Umar
"Sesungguhnya tidaklah kamu melalui sebuah jalan melainkan syaitan
akan melalui jalan yang lain." Yakni apabila kamu ('Umar) melalui
sebuah jalan maka syaitan akan menyingkir dan pergi melalui jalan yang
lain.
Perkataan Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam di atas adalah untuk
menjelaskan keutamaan Abu Bakar dan 'Umar radhiyallohu 'anhuma. Maka
yang demikian ini tidak mengapa.
3. Keadaan ketiga, seseorang memuji orang lain secara berlebihan
sehingga mensifati dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaannya.
Hal ini terlarang dan merupakan satu bentuk kedustaan dan penipuan.
Misalnya seseorang memuji kepada seorang pemimpin atau pejabat atau
yang semisal dengan mereka, di mana sebenarnya mereka tidak pantas
mendapatkan pujian itu karena memang tidak memiliki sifat-sifat yang
terpuji. Maka ini hukumnya haram dan juga terdapat bahaya bagi orang
yang dipuji.
4. Keadaan keempat, pujian kepada seseorang yang sesuai dengan
keadaannya, akan tetapi dikhawatirkan orang yang dipuji itu akan
tertipu oleh dirinya sendiri, merasa dirinya memiliki keutamaan dan
ketinggian dibanding orang lain. Hal ini hukumnya juga haram.
Muallif (Imam Nawawi rahimahullah) menyebutkan beberapa hadits
berkaitan dengan permasalahan ini, bahwasannya ada seorang lelaki
memuji orang lain di sisi Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam, maka
beliau bersabda, "Celaka kamu, engkau telah memotong leher saudaramu!"
yakni seakan-akan engkau telah menyembelih saudaramu dikarenakan
pujianmu kepadanya, karena itu akan membuatnya merasa tinggi dan lebih
daripada orang lain. Dan sungguh Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa
sallam telah memerintahkan supaya menaburkan debu kepada orang yang
terlalu banyak memuji, yaitu orang yang dikenal selalu memuji-muji
orang-orang yang memiliki kedudukan dan kemuliaan di mana pun mereka
hadir. Dan al maddah (orang yang terlalu banyak memuji) tidak sama
dengan al madih (orang yang memuji). Al madih adalah orang yang memuji
sesekali saja. Sedangkan al maddah (ini yang disebut oleh Nabi
Shallallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Miqdad radhiyallohu
'anhu-pent), tidaklah dia duduk di depan seorang pembesar atau
pemimpin atau seorang hakim atau seorang 'alim atau yang semisal
mereka melainkan dia akan memujinya. Orang seperti inilah yang layak
ditaburkan debu ke mukanya.
Karena ada seseorang yang memuji 'Utsman radhiyallohu 'anhu maka
Miqdad berjongkok dan menaburkan ke mukanya. Kemudian 'Utsman bertanya
mengapa dia melakukan hal tersebut. Miqdad berkata, sesungguhnya Nabi
Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian melihat
orang-orang yang suka memuji, maka taburkanlah debu ke muka mereka!"
Bagaimanapun, seyogyanya bagi setiap orang untuk tidak berbicara
kecuali yang baik. Karena Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik
atau diam." Dan Alloh lah yang Maha memberikan petunjuk.
Selesai perkataan Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
Saya tambahkan penjelasan dari Ustadz Badrussalam, apabila kita hendak
memuji seseorang, jangan puji di depannya, tetapi pujilah ketika dia
tidak berada di tempat tersebut.
Allohu a'lam