Minggu, 28 Juni 2009

Untuk Belajar Baca Al Quran dan Terjemahannya


Quran Explorer - [Sura : 2, Verse : 1 - 7]


Senin, 22 Juni 2009

hukum Memuji Makhluk

Berikut penjelasan Ibnu 'Utsaimin rahimahullah di dalam syarah
Riyadhush Shalihin

Muallif (Imam Nawawi) rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya
Riyadhush Shalihin ketika menjelaskan perihal pujian manusia, apakah
diperbolehkan seseorang memuji orang lain atas sesuatu yang memang ada
pada diri orang itu, ataukah tidak boleh?
Maka permasalahan ini tergantung pada beberapa keadaan :

1. Pertama, apabila di dalam pujian tersebut terkandung kebaikan dan
adanya dorongan untuk memiliki sifat yang terpuji dan berakhlaq mulia,
maka hal ini tidak mengapa dikarenakan adanya dorongan tersebut.
Apabila Anda melihat seseorang yang mulia, pemberani, mengutamakan
orang lain dan suka berbuat baik kepada orang lain, kemudian Anda
menyebutkan kebaikan-kebaikan tersebut di depannya dalam rangka untuk
memberikan dorongan dan dukungan sehingga orang tersebut akan
senantiasa menjaga sifat-sifat itu tetap ada pada dirinya, maka hal
ini adalah sebuah kebaikan, dan sesuai dengan firman Allah Ta'ala :

وتعاونوا على البر والتقوى

(artinya) dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa...

2. Keadaan kedua, Anda memuji seseorang dalam rangka menjelaskan
kedudukannya yang utama di antara manusia, menyebarkannya supaya
manusia menghormatinya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi
Shallallohu 'alaihi wasallam terhadap Abu Bakar dan 'Umar -semoga
Allah meridhai keduanya-.
Adapun mengenai Abu Bakar, suatu hari Rasulullah Shallallohu 'alaihi
wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, "Siapakah di antara kalian
yang pada hari ini berpuasa?" Abu Bakar berkata, "saya!" Beliau
bertanya kembali, "Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah
mengiringi jenazah?" Abu Bakar berkata, "Saya!" Beliau bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah menengok orang
sakit?" Lagi-lagi Abu Bakar menjawab, "Saya!"
Maka Nabi Shallalohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah
perkara-perkara yang (aku sebutkan-pent) tadi terkumpul pada seseorang
melainkan ia akan masuk surga".
Demikian pula saat beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda
mengenai orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah
tidak akan melihatnya (pada hari kiamat-pent) . Abu Bakar berkata,
"Wahai Rasulullah (Shallallohu 'alaihi wa sallam), sesungguhnya
sebelah sarungku melorot kecuali apabila saya menjaganya." Beliau
shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Kamu bukanlah
orang yang melakukannya karena sombong."
Begitu pula beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepada 'Umar
"Sesungguhnya tidaklah kamu melalui sebuah jalan melainkan syaitan
akan melalui jalan yang lain." Yakni apabila kamu ('Umar) melalui
sebuah jalan maka syaitan akan menyingkir dan pergi melalui jalan yang
lain.
Perkataan Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam di atas adalah untuk
menjelaskan keutamaan Abu Bakar dan 'Umar radhiyallohu 'anhuma. Maka
yang demikian ini tidak mengapa.

3. Keadaan ketiga, seseorang memuji orang lain secara berlebihan
sehingga mensifati dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaannya.
Hal ini terlarang dan merupakan satu bentuk kedustaan dan penipuan.
Misalnya seseorang memuji kepada seorang pemimpin atau pejabat atau
yang semisal dengan mereka, di mana sebenarnya mereka tidak pantas
mendapatkan pujian itu karena memang tidak memiliki sifat-sifat yang
terpuji. Maka ini hukumnya haram dan juga terdapat bahaya bagi orang
yang dipuji.

4. Keadaan keempat, pujian kepada seseorang yang sesuai dengan
keadaannya, akan tetapi dikhawatirkan orang yang dipuji itu akan
tertipu oleh dirinya sendiri, merasa dirinya memiliki keutamaan dan
ketinggian dibanding orang lain. Hal ini hukumnya juga haram.

Muallif (Imam Nawawi rahimahullah) menyebutkan beberapa hadits
berkaitan dengan permasalahan ini, bahwasannya ada seorang lelaki
memuji orang lain di sisi Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam, maka
beliau bersabda, "Celaka kamu, engkau telah memotong leher saudaramu!"
yakni seakan-akan engkau telah menyembelih saudaramu dikarenakan
pujianmu kepadanya, karena itu akan membuatnya merasa tinggi dan lebih
daripada orang lain. Dan sungguh Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa
sallam telah memerintahkan supaya menaburkan debu kepada orang yang
terlalu banyak memuji, yaitu orang yang dikenal selalu memuji-muji
orang-orang yang memiliki kedudukan dan kemuliaan di mana pun mereka
hadir. Dan al maddah (orang yang terlalu banyak memuji) tidak sama
dengan al madih (orang yang memuji). Al madih adalah orang yang memuji
sesekali saja. Sedangkan al maddah (ini yang disebut oleh Nabi
Shallallohu 'alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Miqdad radhiyallohu
'anhu-pent), tidaklah dia duduk di depan seorang pembesar atau
pemimpin atau seorang hakim atau seorang 'alim atau yang semisal
mereka melainkan dia akan memujinya. Orang seperti inilah yang layak
ditaburkan debu ke mukanya.
Karena ada seseorang yang memuji 'Utsman radhiyallohu 'anhu maka
Miqdad berjongkok dan menaburkan ke mukanya. Kemudian 'Utsman bertanya
mengapa dia melakukan hal tersebut. Miqdad berkata, sesungguhnya Nabi
Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian melihat
orang-orang yang suka memuji, maka taburkanlah debu ke muka mereka!"

Bagaimanapun, seyogyanya bagi setiap orang untuk tidak berbicara
kecuali yang baik. Karena Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik
atau diam." Dan Alloh lah yang Maha memberikan petunjuk.

Selesai perkataan Ibnu 'Utsaimin rahimahullah

Saya tambahkan penjelasan dari Ustadz Badrussalam, apabila kita hendak
memuji seseorang, jangan puji di depannya, tetapi pujilah ketika dia
tidak berada di tempat tersebut.

Allohu a'lam

Rabu, 17 Juni 2009

Inna Ma`al Usri Yusra

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah" (QS. Al-Balad: 4)
Ayat ini menyatakan tentang hukum alam yang tak bisa diutak-atik tentang penciptaan manusia; bahwa manusia itu harus bekerjakeras, harus berada dalam kesulitan dan harus menjalani kehidupan yang tertekan. Itu artinya kita harus mengenali kenyataan diri dan kemudian membangun siasatbagaimana menghadapi kehidupan.

Sahabat, dunia ini adalah tempat kita menerima ujian. Tentunya kesulitan akan datang silih berganti sesuai dengan keimanan kita. Semakin tinggi iman kita, semakin berat pula ujian kita. Mungkin lelah akan menghampiri dalam menghadapi kesulitan itu. Namun, jika kita ambil hikmah dari setiap cobaanNya, oh.....betapa MANISNYA!!

SAHABAT, kesulitan yang kita hadapi harus kita anggap bagai awan musim panas yang sebentar lagi akan berlalu. Tidak jarang gemuruh petirnya, sambaran kilatnya sering membuat kita enggan mendengarnya bahkan sampai kita menutup telinga agar tak mendengarnya. Padahal setelah itu, mungkin pelangi terindah akan muncul tanpa kita sadari.

SAHABAT..............
Jika sendiri terasa sepi, ada Alloh yang mengawasi..........
Jika sedih, jangan dipendam dihati, ada Alloh tempat berbagi.............
Jika susah, jangan menjadi pilu, ada Alloh tempat mengadu................
Jika gagal, jangan putus asa, ada Alloh tempat meminta................
Jika bahagia, jangan menjadi lupa, ada Alloh yang patut dipuja.....

PAcaRaN

Pacaran biasa diartikan sebagai hubungan khusus dua insan lain jenis sebagai masa pengenalan pribadi masing-masing sebelum masuk ke jenjang hubungan yang lebih serius, yakni pernikahan. Dalam kenyataannya, ternyata pacaran memiliki banyak tipe dan model:

  1. Dari Sisi Keseriusan
    1. Pacaran sebagai sarana untuk saling mengenal masing-masing pribadi, dan mempunyai tujuan ke jenjang hubungan yang lebih serius lagi, yakni pernikahan
    2. Pacaran hanya dijadikan sarana sekedar mencari teman, atau hiburan. Dan tidak ada tujuan menuju hubungan yang lebih serius lagi (pernikahan). Meskipun terkadang ketidakseriusan itu berujung pada keseriusan
  2. Dari Sisi Model dan Bentuk
    1. Pacaran dengan saling bertemu di antara dua insan lain jenis dan sekedar berbincang-bincang
    2. Pacaran dengan saling bertemu dan bersentuhan/berpegangan, bahkan jalan-jalan secara berduaan
    3. Pacaran tanpa bertemu satu sama lainnya, namun tetap berhubungan melalui surat, internet atau telepon. Biasanya terjadi jika sang pacar sedang berada di daerah lain atau luar negeri karena kondisi kuliah atau pekerjaan.
    4. Pacaran hingga melakukan hubungan intim seperti layaknya suami dan isteri

Baik pacaran yang serius atau yang sekedar iseng, dari segi model dan bentuk tidak terlepas empat model di atas. Setiap model dan bentuk pacaran yang tersebut di atas mempunyai hukum masing-masing

  1. Pacaran yang dilakukan antara dua insan lain jenis dengan bertemu dan mengobrol berduaan tanpa didampingi mahramnya adalah haram. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

وعن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال‏:‏ ‏"‏لا يخلون أحدكم بامرأة إلا مع ذي محرم‏"‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏‏.‏

Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Janganlah seorang di antara kamu berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya" (HR: Bukhori-Muslim)

  1. Pacaran dengan saling bertemu dan bersentuhan/berpegangan, bahkan jalan-jalan secara berduaan adalah perbuatan yang diharamkan pula. Sebagaimana hadits yang telah disebutkan di atas. Hadits lainnya antara lain:

وعن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال‏:‏ ‏"‏كُتب على ابن آدم نصيبه من الزنا مدرك ذلك لا محالة‏:‏ العينان زناهما النظر، والأذنان زناهما الاستماع، واللسان زناه الكلام، واليد زناها البطش، والرجل زناها الخطا، والقلب يهوى ويتمنى، ويصدق ذلك الفرج أو يكذبه‏"‏‏.‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏.‏ وهذا لفظ مسلم، ورواية البخاري مختصرة‏)‏‏)‏‏.‏

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda, "Telah ditulis pada anak Adam bagiannya dari zina, yang pasti ditemuinya tidak mustahil lagi: kedua mata zinanya adalah penglihatan, kedua telinga zinanya adalah pendengaran, lidah zinanya adalah ucapan, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, hati bernafsu dan berangan-angan, kemudian kemaluan membenarkannya atau mendustakannya. (HR: Bukhori-Muslim)

  1. Pacaran tanpa bertemu satu sama lainnya, namun tetap berhubungan melalui surat, internet atau telepon. Biasanya terjadi jika sang pacar sedang berada di daerah lain atau luar negeri karena kondisi kuliah atau pekerjaan. Atau boleh jadi setelah ta'aruf dan dalam proses menuju khitbah (lamaran), atau sekedar bertemu lalu karena tertarik lalu sms-an melalui hp atau berbicara melalui telepon dan lainnya. Jenis pacaran ini pun dapat berdosa jika membuat hati bernafsu dan berangan-angan, meskipun dosanya tidak seperti berpegangan/bersentuhan, atau berduaan tanpa didampingi mahramnya.
  2. Sedangkan jenis pacaran seperti layaknya hubungan suami isteri maka hal ini lebih berdosa lagi dan termasuk dosa besar. Sebagaimana firman Allah SWT:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat" (QS. An-Nur: 2)

Jika hukum haram dapat diklasifikasikan, maka :

  1. Berpacaran tanpa berduaan dan hanya lewat telepon, sms, surat dan lainnya adalah HARAM RINGAN. Karena pacaran jenis ini mengundang hati menjadi bernafsu dan bahkan kemaluan bisa menyetujuinya.
  2. Berpacaran dengan berduaan tanpa mahram adalah HARAM SEDANG, karena "tidaklah seorang laki-laki dan perempuan berduaan, melainkan yang ketiganya adalah syaitan". Berduaan dengan lain jenis tanpa mahram mengundang dosa yang lebih besar lagi, seperti bersentuhan atau ciuman.
  3. Berpacaran dengan saling bersentuhan atau ciuman adalah HARAM SEDANG-BERAT. Karena pacaran jenis ini akan mengundang kepada perbuatan yang lebih besar lagi dosanya.
  4. Berpacaran laiknya seperti hubungan suami isteri. Jenis pacaran ini adalah termasuk HARAM BERAT atau dosa besar, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Yakinlah bahwa pacaran tidak menjamin mengantarkan kita pada perjodohan. Sebagaimana banyak perjodohan pun terjadi dalam waktu singkat tanpa pacaran. Bertawakkal dan berserah dirilah pada Allah, Allah akan mengabulkan hamba-Nya jika proses dan niatnya adalah baik.

Wallahu a'lam bish-showab.


adakah manusia sebelum adam?

Dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui

Ada beberpa pendapat sahabat dan Ulama Tafsir dalam menfsirkan ayat di atas:

Dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Adzim jilid I hal 91-93 Ibnu Katsir mengemukakan beberapa pendapat dari Sahabat, Tabiin an para ulama:

1. Ibnu Abbas berkata, “Yang pertama menempati bumi adalah bangsa jin, lalu mereka berbuat kerusakan dan saling membunuh, lalu Allah mengutus Iblis membunh mereka dan bangsanya hingga mereka terpojok ke daerah-daerah pegunungan dan laut. Kemudian Allah menciptakan Adam untuk ditempatkan di muka bumi.
2. Abu Ja’far al-Rozi meriwayatkan dari al-Rabi’ bin Anas dsri Abu al-Aliyah saat menafsirkan ayat di atas berkata, “Allah menciptkan malaikat di hari Rabu, meciptakan jin di hari Kamis, dan menciptakan manusia di hari Jum’at. Lalu bangsa jin melakukan kerusakan, maka para malaikat turun memerangi mereka. Oleh karena itu, malaikat mengetahui sifat mereka yang melakukan kerusakan, sehingga ketika Allah akan menciptakan manusia, bertanya: “Apakau Engakau akan menciptakan orang yang akan melakukan kerusakan di permukaan bumi?”
3. Mujahid dan Abdullah bin Amr berkata, “Jin dan keturunannya tinggal di bumi 2000 tahun sebelum diciptakannya Adam, mereka melakukan kerusakan di bumi dan saling membunuh, lalu Allah mengutus tentara dari bangsa Malaikat dan memerangi mereka hingga mereka terpojok di lautan, oleh karena itu malaikat bertanya hal itu saat Allah akan memberitahu akan menciptkan manusia.
4. Mubarok bin Fadholah dari al-Hasan berkata, “Allah berkata kepada malaikat bahwa Dia akan menciptkan khalifah di atas bumi, lalu Allah memberitahu bahwa sifat manusia yang akan diciptakannya begini dan begini, kemudian Malaikat bertanya: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Pendapat in juga didukung oleh Qotadah dan Abdurrozak bin Ma’mar
5. Ibnu Jarir berkata:, “Timbulnya pertanyaan malaikat tersebut setelah Allah memberitahu malaikat tentang sifat manusia dan Allah mengizinkan malakat untuk bertanya. Lalu Allah menjawab "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”

Sedangkan Musrhofa al-Maraghi dalam kitabnya “Tafsir al-Maraghi” mengemukakan dua pendapat utama, yakni:

1. Pendapat Ulama Mutaqoddimin (Salaf): menyerahkan perkara ini kepada Allah dalam hal maksud dan tujuan ayat ini, sambil meyakini bahwa Allah tidak menceritakan sesuatu kecuali agar kita dapat mengambil pelajaran untuk kebaikan akhlak dan amal kita. Setidaknya, dari ayat tersebut memberikan hikmah sebagai berikut:

1. Agar manusia berserah diri dan tidak terlalu sibuk mencari rahasia dibalik penciptaan Allah, karena Malaikat sebagai makhluk paling taat dan dekat pada Allah saja tidak mampu mengetahuinya, apalagi kita.

2. Agar manusia tunduk pada Allah, karena Allah-pun menginginkan agar malaikat tunduk pada keputusan Allah dengan jawabannya “Sesungguhnya Aku mengetahui apa-apa yang kamu tidak ketahui”
3. Allah mengizinkan makhluknya untuk bertanya dan encari jawaban suatu hikmah dari penciptaan, lalu menyerahkannya kepada Allah agar mendapat ilmu yang berguna
4. Sebagai hiburan bagi Nabi, karena Nabi menghadapi pendustaan dan pertanyaan serta perdebatan dari Kuam Musyrikin atas risalah Nabi. Demikian juga halnya Allah yang mendapat pertanyaan dari Malaikat. Bila Allah saja ditanya Malaikat, apalagi Nabi yang ditanya dan didebat oleh manusia )kaum Musyrikin)

2. Pendapat Ulama Mutaakhirin (Kontemporer):

Pertanyaan yang diajukan Malaikat kepada Allah adalah karena mereka ingin mengetahui hikmah dibalik penciptaan. Dan Allah menjawab bahwa Allah menyimpan segala hikmah dalam penciptaan tersebut. (pendapat ini merupakan pendapat Rasyid Ridho)

Dengan demikian, dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Memang sebelum Adam as (bangsa manusia) diciptakan, sudah ada makhluk Allah yang menempati bumi, yakni bangsa jin. Mereka melakukan kerusakan, sehingga ketika Allah memberitahu para malaikat bahwa Allah akan menciptakan khlaifah di atas bumi, para Malaikat pun mengajukan pertanyaan seperti yang tersebut adalam ayat tersebut.
2. Timbulnya pertanyaan yang diajukan malaikat kepada Allah "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" dapat dikarenakan dua hal:
1. Malaikat mengetahui sifat makhluk sebelumnya yakni jin yang tinggal di bmi dan mereka berbuat kerusakan di atas bumi. Sehingga saat Allah memberitahu akan menciptakan khlafiah, malaikat mengajukan pertanyaan tersebut
2. Saat Allah memberitahu bahwa Dia akan meciptkan manusia, Allah memberitahu juga kepada malaikat bahwa sifat dan kelakuan manusia akan melakukan kerusakan dan pembunuhan, sehingga malaikat mengajukan pertanyaan tersebut
3. Manusia pertama adalah Adam, dan manusia adalah anak keturunan Adam. Sebagaimana hadits-hadits Nabi saw menjelaskan hal itu, di antaranya:

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خطب بمكة فقال : " يأيها الناس إن الله قد أذهب عنكم عَيْبَة الجاهلية وتعاظمها بآبائها . فالناس رجلان : رجل بَرّ تَقِيّ كريم على الله ، وفاجر شقيّ هيّن على الله . والناس بنو آدم وخلق الله آدم من تراب

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw berkhutbah di Makkah dan bersabdam “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah telah menghilangkan kebanggaan jahiliyyah dan nenek moyangnya. Maka manusia hanya dua; orang baik, bertaqwa dan mulia di sisi Allah, dan orang sengsara dan hina di sisi Allah. MAnusia adalah anak keturunan Adam, dan Allah menciptakan Adam berasal dari tanah” (HR: Tirmidzi)

عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « الناس ولد آدم وآدم من تراب »

Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Manusia adalah anak keturunan Adam, dan Adam berasal dari tanah”.

hukum Menguap dalam Sholat

Menurut kamus Wikipedia, kuap atau menguap adalah sebuah gerakan refleks menarik dan menghembuskan napas yang sering terjadi saat seseorang merasa letih atau mengantuk. Belum diketahui sebab mengapa orang-orang menguap, namun seringkali dikatakan bahwa penyebabnya adalah jumlah oksigen di paru-paru yang rendah. Menguap mudah sekali menular - 55% orang-orang yang melihat seseorang menguap akan turut menguap dalam waktu lima menit berikutnya. Dalam beberapa budaya, menguap merupakan suatu sikap antisosial sehingga saat menguap orang-orang dari kebudayaan tersebut akan menutup mulut mereka.

Dalam beberapa hadits, menguap merupakan perbuatan dari syaithan. Sebagaimana hadits Nabi saw:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ التَّثَاؤُبُ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ الشَّيْطَانُ

Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi saw berkata, “Menguap adalah dari syaitan, maka jika salah seorang di antara kalian menguap maka hendaklah menahannya semampunya, sebab jika seorang di antara kalian menguap “haa”, maka syaitan tertawa. (shahih Bukhori 11/66)

Karena menguap adalah pebuatan dari syaitan, maka ia selalu ingin menggoda kita agar kita malas bekerja dan beraktifitas, termasuk di dalamnya saat kita melaksanakan ibadah shalat. Dalam suatu hadits, Rasulullah saw bersabda:

عنأبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا نادى المنادي أدبر الشيطان وله ضراط فإذا قضى أقبل حتى يخطر بين الرجل وبين نفسه ، يقول : اذكر كذا وكذا ما لم يكن يذكر

Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: “Jika seorang mudzain mengumandangkan adzan maka syaithan berpaling lari hingga keluar angin (kentut). Dan jika selesai adzan, syaitan kembali sehingga mengganggu antara orang dan antara dirinya, dia berkata: ingatlah ini dan itu, selama dia tidak mengingat.” (Al-Aushat ibnu Munzdir 4/106)

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa meskipun syaitan takut saat mendengar adzan, namun saat adzan selesai dikumandangkan, syaitan datang kembali untuk menggoda orang-orang yang akan dan sedang shalat, baik dengan cara menyibukkan kita dengan pikiran-pikiran tertentu, atau dengan mengingat-ingat sesuatu yang tidak penting dan tidak ada kaitannya dengan sholat. Termasuk cara syaitan untuk mengganggu kita dalam sholat dengan seringnya kita menguap.

Menguap adalah suatu sikap yang tidak bisa kita hindari, apalagi jika tubuh kita mengalami kelelahan atau kurang tidur. Oleh karena itu Rasulullah saw dan sahabat mengajarkan kepada kita, agar saat kita menguap segera mengambil tindakan-tindakan berikut:

1. Menahannya (tidak membuka semua mulut) sedapat mungkin sebagaimana hadits di atas
2. Tidak mengeluarkan suara, termasuk suara “haa” atau “huaa”, apalagi dengan suara keras, karena dengan begitu akan membuat syaitan tertawa senang
3. Menutup mulut saat menguap dengan tangan, terutama dengan tangan kiri



عن سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنًا لِأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ يُحَدِّثُ أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

Dari Suhail bin Abi Sholih berkata, aku mendengar putera Abi Said al-Khudri menceritakan pada ayahku, dari ayahnya dia berkata: Rasulullah saw bersabda; Jika seorang di antaramu menguap maka hendaklah menahan dengan tangannya diletakkan di mulutnya, karena syaitan akan masuk.” (Shahih Muslim 14/264)

4. Mangatasinya dengan ‘berdehem’

عن مغيرة عن إبراهيم قال إني لادفع التثاؤب في الصلاة بالتنحنح

Dari Mughiraoh, dari Ibahim berkata: “Sesungguhnya aku menahan uapan saat shalat dengan berdehem.”

5. Menahannya dengan menutup bibir dan mengusap hidung

عن منصور عن إبراهيم قال إذا تثاءب في الصلاة ضم شفتيه ومسح أنفه

Dari Manshur, dari ibrahim berkata: “Jika seseorang menguap dalam shalat, maka hendaklah ia menutup kedua bibirnya dan mengusap hidungnya.

6. Berlindung kepada Allah dari sikap menguap yang merupakan perbuatan syitan

عن ابن مسعود قال التثاؤب في الصلاة والعطاس من الشيطان فتعوذوا بالله منه.

Dari Ibnu Mas’ud berkata, menguap dalam shalat dan bersin adalah dari syaitan maka hendaklah kalian berlindung kepada Allah dari padanya”

Yang dimaksud dengan bersin disini adalah bersin besar dengan mengeluarkan suara besar, karena dalam hadits lain justru bersin itu dari Allah

7. Saat menguap, hendaknya berhenti dari membaca, karena dikhawatirkan bacaan kita akan salah. Setelah selesai menguap, barulah melanjutkan bacaannya.



عن عثمان بن الاسود عن مجاهد قال إذا تثاءب في الصلاة فليمسك عن القراءة

Dari Utsman bin al-Aswa, dari Mujahid berkata; “Jika seseorang menguap dalam shalat maka hendaklah ia berhenti dari bacaan.”
wallahu`alam bishowab

Kamis, 04 Juni 2009

Bincang-Bincang Tentang Hukum Facebook

Bincang-Bincang Tentang Hukum Facebook

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Belakangan ini di antara kita pernah mendengar fatwa haramnya Facebook, sebuah layanan pertemanan di dunia maya yang hampir serupa dengan Friendster dan layanan pertemanan lainnya. Banyak yang bingung dalam menyikapi fatwa semacam ini. Namun, bagi orang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah tentu tidak akan bingung mengenai fatwa tersebut.

Dalam tulisan yang singkat ini, dengan izin dan pertolongan Allah kami akan membahas tema yang cukup menarik ini, yang sempat membuat sebagian orang kaget. Tetapi sebelumnya, ada beberapa preface yang akan kami kemukakan.Semoga Allah memudahkannya.

Dua Kaedah yang Mesti Diperhatikan

Saudaraku, yang semoga selalu mendapatkan taufik dan hidayah Allah Ta’ala. Dari hasil penelitian dari Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama membuat dua kaedah ushul fiqih berikut ini:

Hukum asal untuk perkara ibadah adalah terlarang dan tidaklah disyari’atkan sampai Allah dan Rasul-Nya mensyari’atkan.

Sebaliknya, hukum asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah dibolehkan dan tidak diharamkan sampai Allah dan Rasul-Nya melarangnya.

Apa yang dimaksud dua kaedah di atas?

Untuk kaedah pertama yaitu hukum asal setiap perkara ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang mensyariatkannya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ibadah adalah sesuatu yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang memerintahkan atau menganjurkan suatu amalan yang tidak ditunjukkan oleh Al Qur’an dan hadits, maka orang seperti ini berarti telah mengada-ada dalam beragama (baca: berbuat bid’ah). Amalan yang dilakukan oleh orang semacam ini pun tertolak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Namun, untuk perkara ‘aadat (non ibadah) seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan mu’amalat, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Dalil untuk kaedah kedua ini adalah firman Allah Ta’ala,

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al Baqarah: 29).

Maksudnya, adalah Allah menciptakan segala yang ada di muka bumi ini untuk dimanfaatkan. Itu berarti diperbolehkan selama tidak dilarangkan oleh syari’at dan tidak mendatangkan bahaya.

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan- Nya untuk hamba-hamba- Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al A’raaf: 32).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingkari siapa saja yang mengharamkan makanan, minuman, pakaian, dan semacamnya.

Jadi, jika ada yang menanyakan mengenai hukum makanan “tahu”? Apa hukumnya? Maka jawabannya adalah “tahu” itu halal dan diperbolehkan.
Jika ada yang menanyakan lagi mengenai hukum minuman “Coca-cola”? Apa hukumnya? Maka jawabannya juga sama yaitu halal dan diperbolehkan.
Begitu pula jika ada yang menanyakan mengenai jual beli laptop? Apa hukumnya? Jawabannya adalah halal dan diperbolehkan.
Jadi, untuk perkara non ibadah seperti tadi, hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Makan bangkai menjadi haram, karena dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula pakaian sutra bagi laki-laki diharamkan karena ada dalil yang menunjukkan demikian. Namun asalnya untuk perkara non ibadah adalah halal dan diperbolehkan.

Oleh karena itu, jika ada yang menanyakan pada kami bagaimana hukum Facebook? Maka kami jawab bahwa hukum asal Facebook adalah sebagaimana handphone, email, blog, internet, radio, dan alat-alat teknologi lainnya yaitu sama-sama mubah dan diperbolehkan.

Hukum Sarana sama dengan Hukum Tujuan

Perkara mubah (yang dibolehkan) itu ada dua macam. Ada perkara mubah yang dibolehkan dilihat dari dzatnya dan ada pula perkara mubah yang menjadi wasilah (perantara) kepada sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang dilarang.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- mengatakan,

“Perkara mubah dibolehkan dan diizinkan oleh syari’at untuk dilakukan. Namun, perkara mubah itu dapat pula mengantarkan kepada hal-hal yang baik maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang diperintahkan. Perkara mubah terkadang pula mengantarkan pada hal yang jelek, maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang dilarang.
Inilah landasan yang harus diketahui setiap muslim bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan (al wasa-il laha hukmul maqhosid).”

Maksud perkataan beliau di atas:

Apabila perkara mubah tersebut mengantarkan pada kebaikan, maka perkara mubah tersebut diperintahkan, baik dengan perintah yang wajib atau pun yang sunnah. Orang yang melakukan mubah seperti ini akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya.

Misalnya : Tidur adalah suatu hal yang mubah. Namun, jika tidur itu bisa membantu dalam melakukan ketaatan pada Allah atau bisa membantu dalam mencari rizki, maka tidur tersebut menjadi mustahab (dianjurkan/ disunnahkan) dan akan diberi ganjaran jika diniatkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah.

Begitu pula jika perkara mubah dapat mengantarkan pada sesuatu yang dilarang, maka hukumnya pun menjadi terlarang, baik dengan larangan haram maupun makruh.
Misalnya : Terlarang menjual barang yang sebenarnya mubah namun nantinya akan digunakan untuk maksiat. Seperti menjual anggur untuk dijadikan khomr.

Contoh lainnya adalah makan dan minum dari yang thoyib dan mubah, namun secara berlebihan sampai merusak sistem pencernaan, maka ini sebaiknya ditinggalkan (makruh).

Bersenda gurau atau guyon juga asalnya adalah mubah. Sebagian ulama mengatakan, “Canda itu bagaikan garam untuk makanan. Jika terlalu banyak tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak.” Jadi, jika guyon tersebut sampai melalaikan dari perkara yang wajib seperti shalat atau mengganggu orang lain, maka guyon seperti ini menjadi terlarang.

Oleh karena itu, jika sudah ditetapkan hukum pada tujuan, maka sarana (perantara) menuju tujuan tadi akan memiliki hukum yang sama. Perantara pada sesuatu yang diperintahkan, maka perantara tersebut diperintahkan. Begitu pula perantara pada sesuatu yang dilarang, maka perantara tersebut dilarang pula. Misalnya tujuan tersebut wajib, maka sarana yang mengantarkan kepada yang wajib ini ikut menjadi wajib.

Contohnya : Menunaikan shalat lima waktu adalah sebagai tujuan. Dan berjalan ke tempat shalat (masjid) adalah wasilah (perantara). Maka karena tujuan tadi wajib, maka wasilah di sini juga ikut menjadi wajib. Ini berlaku untuk perkara sunnah dan seterusnya.

Intinya, Hukum Facebook adalah Tergantung Pemanfaatannya

Jadi intinya, hukum facebook adalah tergantung pemanfaatannya. Kalau pemanfaatannya adalah untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, maka facebook pun bernilai sia-sia dan hanya membuang-buang waktu. Begitu pula jika facebook digunakan untuk perkara yang haram, maka hukumnya pun menjadi haram. Hal ini semua termasuk dalam kaedah “al wasa-il laha hukmul maqhosid (hukum sarana sama dengan hukum tujuan).” Di bawah kaedah ini terdapat kaedah derivat atau turunan yaitu:

1. Maa laa yatimmul wajibu illah bihi fa huwa wajib (Suatu yang wajib yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)
2. Maa laa yatimmul masnun illah bihi fa huwa masnun (Suatu yang sunnah yang tidak sempurna kecuali dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)
3. Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram)
4. Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh)

Maka lihatlah kaedah derivat yang ketiga di atas. Intinya, jika facebook digunakan untuk yang haram dan sia-sia, maka facebook menjadi haram dan terlarang.

Kita dapat melihat bahwa tidak sedikit di antara pengguna facebook yang melakukan hubungan gelap di luar nikah di dunia maya. Padahal lawan jenis yang diajak berhubungan bukanlah mahram dan bukan istri. Sungguh, banyak terjadi perselingkuhan karena kasus semacam ini. Jika memang facebook banyak digunakan untuk tujuan-tujuan seperti ini, maka sungguh kami katakan, Hukum facebook sebagaimana hukum pemanfaatannya. Kalau dimanfaatkan untuk yang haram, maka facebook pun menjadi haram.”

Waktu yang Sia-sia Di Depan Facebook

Saudaraku, inilah yang kami ingatkan untuk para pengguna facebook. Ingatlah waktumu! Kebanyakan orang betah berjam-jam di depan facebook, bisa sampai 5 jam bahkan seharian, namun mereka begitu tidak betah di depan Al Qur’an dan majelis ilmu. Sungguh, ini yang kami sayangkan bagi saudara-saudaraku yang begitu gandrung dengan facebook. Oleh karena itu, sadarlah!!
Semoga beberapa nasehat ulama kembali menyadarkanmu tentang waktu dan hidupmu.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan,

“Aku pernah bersama dengan seorang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya) , maka dia akan memotongmu.”

Lanjutan dari perkataan Imam Asy Syafi’i di atas,

“Kemudian orang sufi tersebut menyebutkan perkataan lain: Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).” (Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”

Ingatlah … kematian lebih layak bagi orang yang menyia-nyiakan waktu.

Ibnul Qayyim mengatakan perkataan selanjutnya yang sangat menyentuh qolbu,

“Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (Al Jawabul Kafi, 109)

Marilah Memanfaatkan Facebook untuk Dakwah

Inilah pemanfaatan yang paling baik yaitu facebook dimanfaatkan untuk dakwah. Betapa banyak orang yang senang dikirimi pesan nasehat agama yang dibaca di inbox, note atau melalui link mereka. Banyak yang sadar dan kembali kepada jalan kebenaran karena membaca nasehat-nasehat tersebut.

Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain apalagi dalam masalah agama yang dapat mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)

Dari Abu Mas’ud Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa memberi petunjuk pada orang lain, maka dia mendapat ganjaran sebagaimana ganjaran orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui perantaraanmu maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan unta merah (harta yang paling berharga bagi orang Arab saat itu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Lihatlah saudaraku, bagaimana jika tulisan kita dalam note, status, atau link di facebook dibaca oleh 5, 10 bahkan ratusan orang, lalu mereka amalkan, betapa banyak pahala yang kita peroleh. Jadi, facebook jika dimanfaatkan untuk dakwah semacam ini, sungguh sangat bermanfaat.

Penutup: Nasehat bagi Para Pengguna Facebook

Faedah dari perkataan Imam Asy Syafi’i:

“Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil)”.(Al Jawabul Kafi, 109)

Kami hanya bisa berdoa kepada Allah, semoga Allah memberikan taufik dan hidayah bagi orang yang membaca tulisan ini. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk memanfaatkan waktu dengan baik, dalam hal-hal yang bermanfaat.

Alhamdulillahilladz i bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Rujukan:

Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
Al Qowa’id wal Ushul Al Jaami’ah
, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Darul Wathon Lin Nasyr
Jam’ul Mahshul fi Syarhi Risalah Ibni Sya’di fil Ushul
, Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, Dar Al Muslim
Risalah Lathifah
, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di